Minggu, 27 Mei 2012
Tentang bribil
Tiba-tiba saya ingat bribil. Ingat bentuknya, ingat baunya, juga tekstur dan rasanya di mulut. Lalu jadi menyadari kalau tanaman liar itu ternyata murah hati sekali. Dia tumbuh sendiri di pekarangan rumah dan kebun. Bagi petani, dia bisa jadi gulma yang dianggap mengganggu benih yang ditanamnya. Tapi sepertinya dia tidak keberatan dianggap begitu. Dia tetap saja muncul tanpa diminta.
Seingat saya peternak menyukai bribil. Dia yang tumbuh di antara rumput gajah akan ikut terkena kibasan sabit lalu berpindah ke keranjang pencari rumput sebelum berakhir di mulut ternak. Tapi manusia juga menyukainya. Seperti saya dan orang-orang di desa saya. Bribil yang liar itu jadi lalap/kelem/gudhangan yang segar. Apalagi kalau disiram dengan kuah sambel tumpang. (Hmmm sudah lama sekali saya tidak makan bribil :D)
Seingat saya lagi, tidak ada yang menjual bribil di pasar. Jadi meskipun orang-orang menyukainya, tidak ada petani yang berniat menanam dan merawatnya. Dia kalah gengsi jika dibandingkan bayam, sawi, kobis, seledri, selada, dan sebangsanya.
Tapi ya itu tadi, bribil tidak keberatan. Dia tetap saja muncul dari dalam tanah. Tidak menuntut diairi ataupun dipupuk. Sebelum ada hiruk pikuk pertanian organik, bribil itu sudah tumbuh secara organik.
Ingatan tentang bribil muncul setelah seorang teman mengirimkan link tentang sebuah komunitas yang mengkampanyekan daun ( terimakasih Anitha Silvia :) ). Kata link itu, dari sekian jenis daun yang tumbuh di dunia, baru sedikit sekali jenis daun yang dikonsumsi manusia.
Seperti yang saya alami sekarang. Kalau ke pasar atau ke supermarket, sayur yang tersedia jenisnya itu-itu saja. Wortel, kubis, kentang, seledri, bayam, buncis, brokoli, dan beberapa jenis daun yang saya tidak tahu namanya. Semua warung makan yang saya datangi menjual sayur dengan bahan yang seragam. Beberapa jenis daun dan buah yang pernah saya lihat sewaktu kecil dulu tidak saya temui di kota.
Saya jadi kangen bribil.
Langganan:
Postingan (Atom)