Minggu, 04 Agustus 2013

Peta Wisata Candi Sukuh - Candi Cetho



Candi Sukuh dan Candi Cetho berada di lereng barat Gunung Lawu. Kedua candi ini berada di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi Sukuh masuk wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, sedangkan Candi Cetho berada di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi.

Meski berada di dua kecamatan yang berbeda, jarak kedua candi ini sebenarnya tidak terlalu jauh. Jika Anda datang berkunjung dengan kendaraan bermotor, jarak tempuh dari satu candi ke candi lainnya sekitar satu jam. Sepanjang perjalanan mata Anda akan dimanjakan oleh hamparan hijau kebun teh dengan kontur yang indah.

Namun jika Anda ingin melakukan perjalanan wisata yang lebih menantang, silakan mengambil rute jalan kaki menyisir perbukitan yang menghubungkan kedua candi tersebut. Dari Candi Sukuh ke Candi Cetho, anda akan melewati jalan yang cenderung terus menanjak dengan pemandangan yang hijau dan indah. Jarak tempuhnya sekira empat jam.

Selain dua candi yang diperkirakan dibangun pada masa akhir Kerajaan Majapahit itu, ada banyak lokasi wisata lain yang bisa Anda kunjungi di wilayah ini. Ada air terjun Jumog, Pabrik Teh Kemuning beserta hamparan kebun teh nan hijau, Candi Kethek, dan sejumlah lokasi wisata lain yang sayang untuk dilewatkan.

Sepanjang perjalanan, Anda juga bisa mampir menyeruput teh dan menikmati aneka makanan yang disediakan sejumlah rumah makan dan resto. Jika Anda ingin membeli oleh-oleh, jangan lupa untuk mencari produk Beribil :) 

Rabu, 31 Juli 2013

Stiker

Untuk setiap pembelian kaus, Anda akan mendapatkan bonus stiker cantik :)




Kaus/kaos

Kaus-kaus kami dibuat dengan desain yang terinspirasi dari kekayaan arkeologi, budaya, dan alam di kaki barat Gunung Lawu. Cocok menjadi buah tangan setelah Anda mengunjungi Candi Sukuh, Candi Cetho, maupun kebun teh Kemuning. Diproduksi dengan warna hitam dan putih, dalam ukuran S, M, dan L. Harga terjangkau.


Candi Cetho, Damai di kaki Lawu

Kebun Teh Kemuning
Candi Sukuh, Pulang Kepada Hening

Minggu, 27 Mei 2012

Tentang bribil


Tiba-tiba saya ingat bribil. Ingat bentuknya, ingat baunya, juga tekstur dan rasanya di mulut. Lalu jadi menyadari kalau tanaman liar itu ternyata murah hati sekali. Dia tumbuh sendiri di pekarangan rumah dan kebun. Bagi petani, dia bisa jadi gulma yang dianggap mengganggu benih yang ditanamnya. Tapi sepertinya dia tidak keberatan dianggap begitu. Dia tetap saja muncul tanpa diminta. 

Seingat saya peternak menyukai bribil. Dia yang tumbuh di antara rumput gajah akan ikut terkena kibasan sabit lalu berpindah ke keranjang pencari rumput sebelum berakhir di mulut ternak. Tapi manusia juga menyukainya. Seperti saya dan orang-orang di desa saya. Bribil yang liar itu jadi lalap/kelem/gudhangan yang segar. Apalagi kalau disiram dengan kuah sambel tumpang. (Hmmm sudah lama sekali saya tidak makan bribil :D)

Seingat saya lagi, tidak ada yang menjual bribil di pasar. Jadi meskipun orang-orang menyukainya, tidak ada petani yang berniat menanam dan merawatnya. Dia kalah gengsi jika dibandingkan bayam, sawi, kobis, seledri, selada, dan sebangsanya.

Tapi ya itu tadi, bribil tidak keberatan. Dia tetap saja muncul dari dalam tanah. Tidak menuntut diairi ataupun dipupuk. Sebelum ada hiruk pikuk pertanian organik, bribil itu sudah tumbuh secara organik.

Ingatan tentang bribil muncul setelah seorang teman mengirimkan link tentang sebuah komunitas yang mengkampanyekan daun ( terimakasih Anitha Silvia :) ). Kata link itu, dari sekian jenis daun yang tumbuh di dunia, baru sedikit sekali jenis daun yang dikonsumsi manusia.

Seperti yang saya alami sekarang. Kalau ke pasar atau ke supermarket, sayur yang tersedia jenisnya itu-itu saja. Wortel, kubis, kentang, seledri, bayam, buncis, brokoli, dan beberapa jenis daun yang saya tidak tahu namanya. Semua warung makan yang saya datangi menjual sayur dengan bahan yang seragam. Beberapa jenis daun dan buah yang pernah saya lihat sewaktu kecil dulu tidak saya temui di kota.

Saya jadi kangen bribil.